top of page
Gambar penulisKemas Muhammad Raafi Fadhlullah

Rengasdengklok: Tepat atau Sesat

 

Tak bisa kita pungkiri, bahwa kemerdekaan kita yang sudah berumur 79 tahun ini tak mungkin terjadi tanpa adanya pihak-pihak yang berseteru dan berdebat melawan penjajah. Termasuk golongan pemuda yang "sangat berjasa" karena telah menculik Soekarno dan Hatta. Pasalnya, sebab penculikan itu, Indonesia bisa menghirup kemerdekaannya sampai sekarang. Tapi setelah sekian lama Indonesia merdeka, agaknya cukup mengherankan melihat banyak masyarakat Indonesia yang tidak begitu menaruh perhatian mereka pada peristiwa 16 Mei 1945 ini. Ada satu pertanyaan yang menggelitik kaum nasionalisme atau humanisme, apakah keputusan ini benar atau tidak? Lebih kasarnya, apakah keputusan ini tepat atau sesat?

Semenjak kedatangan Cornelis de Houtman hingga Daendels yang membangun jalan raya di sepanjang Jawa, masyarakat Nusantara mulai terbiasa melihat orang asing yang memerintah mereka dan memanggil mereka inlander alias pribumi. Pribumi-pribumi ini bekerja dengan sangat giat untuk majikan mereka dan hidup dari pemberian orang-orang tersebut. Tidak bermaksud menegasikan seluruh orang Belanda, tetapi Belanda sendiri memiliki keyakinan bahwa mereka berhak untuk mengurus dan membantu orang-orang Nusantara. Dogma Kristen yang tersebar adalah salah satu prestasi besar dalam hal ini. Masyarakat Nusantara adalah bangsa yang sangat penurut. Mereka menghormati tamu dan melayani orang-orang asing dengan baik. Islam, pikir Belanda, sangat memengaruhi tingkah laku masyarakat Nusantara. Tingkah laku inilah yang dimanfaatkan Belanda dengan baik. Tebu, kopi, dan komoditas alam lainnya dari pulau-pulau Nusantara membantu Belanda dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya setelah perang melawan Spanyol. Pemerintahan Belanda menetapkan bahwa Indonesia adalah Wingewest, wilayah yang menghasilkan keuntungan.

Tapi tidak dengan masyarakat Nusantara. Orang yang kelaparan, badan yang kurus kering, dan sering mengisap ganja dan rokok adalah suatu hal yang tidak aneh lagi ketika bangsa lain datang ke pulau Jawa. Eduard Douwes Dekker atau Multatuli, mengisahkan dalam novelnya Max Havelaar bagaimana orang-orang Jawa memang tidak mendapatkan perlindungan dari kebijakan-kebijakan pejabat Belanda atau para ningrat. Setelah novel itu diterbitkan, Belanda segera mendapat kritikan dari negara-negara lainnya. Yang paling keras dalam melakukannya adalah Inggris, Jerman, dan Perancis.

 Kemunculan kaum etis seperti Pieter Brooshoft yang menyuarakan een eerschuld dan Van Deventer yang mengajukan Ethische Politiek kepada Belanda, maka pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina mengesahkan kebijakan politik etis yang memuat Trias Van Deventer: Irigasi, emigrasi, dan edukasi. Hollandsch-Inlandsche School adalah realisasi dari kebijakan ini. Dari tahun 1914 hingga 1918, meskipun Belanda netral, perang dunia I membuat kebijakan ini sedikit terganggu karena krisis ekonomi yang terjadi saat peperangan dan sesudah peperangan berlangsung.

Semenjak kebijakan ini berlangsung, pribumi-pribumi yang mendapatkan akses pendidikan mulai memahami kondisi politik dan sosial di Nusantara. Ada semacam Einheit di antara bangsawan pribumi yang terpelajar untuk memerdekakan Hindia-Belanda walau hal ini masih berupa wacana sepintas yang tidak terlalu menarik perhatian pemerintahan Belanda.

Pada tahun 1940, Belanda diinvasi oleh Nazi Jerman sehingga pemerintahan berhenti berjalan. Selang dua tahun, Hindia-Belanda diambil alih oleh Jepang. Pada awalnya, masyarakat yakin bahwa kedatangan Jepang memang berniat untuk menjadikan Indonesia sebagai saudara dan akan membantu kemerdekaan Indonesia setelah perang selesai. Maka dari itu, Soekarno menjadi penggerak rakyat untuk membantu Jepang melawan sekutu. Namun, hasilnya adalah Jepang tidak menepati janjinya dan melakukan kerja paksa kepada masyarakat Indonesia. Barulah, pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso, menjanjikan kemerdekaan Indonesia di suatu hari.

Singkat waktu, setelah peristiwa pemboman Hiroshima dan Nagasaki, Jepang pergi dari Indonesia. Kekosongan kekuasaan inilah yang menjadi masalah di kalangan berbagai pihak. Apakah Indonesia harus mengumumkan kemerdekaannya sekarang atau menunggu instruksi Jepang? Terdapat dua kubu yang saling bertentangan dalam hal ini, yaitu golongan tua dan golongan muda.

Dalam pemikiran golongan tua, Indonesia tidak boleh tergesa-gesa memproklamirkan kemerdekaannya mengingat hal ini seharusnya menunggu keputusan dari siding PPKI. Kalau seandainya hal ini dilanggar, khawatir akan kembali timbul perpecahan karena penyelewengan aturan yang dilakukan sebagian pihak. Lebih baik kita menunggu keputusan dari Jepang sehingga ada negara yang membantu kemerdekaan Indonesia.

Berkebalikan dengan itu, golongan pemuda berpikir bahwa ini adalah saat paling tepat untuk merdeka dan tidak akan ada lagi kesempatan lain untuk merdeka. Mengandalkan Jepang adalah tanda bahwa kita masih memiliki mental terjajah. Hal itulah yang harus dihapus dari orang-orang Indonesia. Jikalau mengandalkan Jepang, Indonesia hanya akan menjadi negara boneka dari fasisme Jepang. Percaya bahwa golongan tua tidak mau mendengar usulan mereka, golongan muda membuat keputusan untuk menculik Soekarno dan Hatta dan membawa keduanya menuju Rengasdengklok. Kemerdekaan pun diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 meskipun berbeda satu hari dengan keinginan golongan muda.

Namun, ada satu hal yang sangat menarik dalam perjalanan ini, bahwa Rengasdengklok pada hakikatnya terjadi karena dilema pemuda. Dilema pemuda inilah yang membuat Indonesia seperti sekarang. Penulis sulit untuk menerima takhayul semacam pola ‘barisan aritmetika’ dalam Sejarah Indonesia, tapi penulis merasa harus memaparkannya.

Kita bukan hanya tidak bisa memisahkan negara ini dengan ketentuan yuridis-yuridis, tapi ada semacam hukum logis dan matematis yang mengikat negara ini. Penculikan yang dilakukan oleh golongan muda ini membuat anggapan bahwa segala cara dapat dihalalkan demi kepentingan subjektif. Apakah kemerdekaan ini adalah kepentingan subjektif? Penulis sadar bahwa pembaca sukar menerima hal ini, tapi menetapkan kemerdekaan harus dilakukan pada waktu yang satu kelompok telah tentukan secara tidak langsung telah mereduksi nilai kemerdekaan yang seharusnya menjadi nilai global menjadi nilai lokal.

Perhatikan baik-baik setiap premis yang ada. Premis 1: Proklamasi kemerdekaan Indonesia harus segera dilakukan; Premis 2: Kekosongan kekuasaan hanya ada pada saat sekarang. Golongan muda segera membuat hubungan kausalitas antara dua premis tersebut membentuk premis 3: Proklamasi Kemerdekaan harus segera dilakukan sekarang karena hanya ini waktu Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan.

Tanpa disadari, setiap individu suka membuat semacam silogisme semacam ini tanpa memerhatikan hal-hal lainnya. David Hume, selaku filsuf empiris Skotlandia, sering mengumpamakan bahwa ketika bola hitam menabrak bola putih dan bola putih itu bergerak setelahnya, pikiran kita benar-benar bermain dalam menyimpulkan bahwa bola hitam adalah penyebab kausalitas bergeraknya bola putih. Pertanyaannya, bisakah kita membuktikan hal itu? Nyatanya otak berlari terlalu cepat dari realitas!

Penyakit yang sama telah menjangkiti para golongan muda. Mereka melupakan hal-hal yang lebih krusial seperti bagaimana kesiapan masyarakat tidak hanya secara fisik, tapi juga mental. Tiga hari setelah kepergian penjajah, kau segera mengumumkan persatuan ribuan bahasa dengan cara menculik orator ulung dengan sahabatnya yang kutu buku. Sebuah bangsa yang menakjubkan, bukan?

Hari ini, banyak sekali narasi bahwa Indonesia mengalami ketidaksiapan di berbagai hal. Bahkan untuk hal paling mendasar seperti toleransi, masyarakat masih bertikai. Sejak Perang Bubat yang terjadi lebih dari 600 tahun lalu, beberapa keluarga masih menolak pernikahan beda suku. Multatuli yang sedari 140 tahun silam telah memaparkan korupnya para gubernur dan bupati, ternyata masih menjadi kenyataan di Negara Indonesia. Mengapa ada banyak sekali barisan aritmetika yang terjadi di sini?

Tapi, bukankah tanpa tindakan golongan muda, kita masih menjadi budaknya Belanda? Penulis sudah katakan, bagaimana kau bisa membuktikan tanpa ada penculikan itu Indonesia tidak akan merdeka? Perhatikan baik-baik perumpamaan David Hume sebelumnya. Jerman berdiri kuat karena Vermutung bahwa mereka adalah ras paling tinggi, Perancis bertahan karena menganggap bahwa mereka adalah penggagas nilai-nilai kesetaraan manusia, sedangkan Indonesia goyah karena sebagian masyarakat kita sendiri masih tidak hapal pada dasar negaranya.

Dilema sekolompok pemuda telah melahirkan bangsa Indonesia yang Merdeka dari Jepang atau Belanda sekaligus meninggalkan permasalahan di setiap hal. Terima kasih harus kita haturkan kepada mereka semua karena telah memerdekakan kita. Penulis tidak ragu menyebut bahwa wajib berterima kasih dan menganggap mereka semua pahlawan. Hanya saja, pada ranah pemikiran, Peristiwa Rengasdengklok adalah ketepatan yang sesat atau kesesatan yang tepat.

Nasionalisme selalu berhasil menghibur kapitalime dan komunisme.

 

 

 

33 tampilan1 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

1 comentário


Wildan Pratana
Wildan Pratana
07 de out. de 2024

disini kita berfikir bahwasannya dalam suatu peristiwa yang terjadi ada hal hal yang perlu kita perhatikan kembali bukan hanya mengambil satu sudut pandang akan tetapi ada pelajaran yang bisa kita ambil saat pikiran kita terbuka

Curtir
bottom of page